Coba hitung berapa banyak penduduk Indonesia sekarang? Lebih dari 270 juta jiwa. Dari angka ini, ada sekitar 7 juta mahasiswa aktif menurut data Kemdikbud.
Dari jumlah itu, berapa banyak yang kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) atau swasta (PTS) yang masuk kategori top 10? Cuma segelintir. Kalau kamu salah satu di antaranya, wah, selamat ya, kamu berhasil masuk "minoritas intelektual" yang, percaya atau tidak, sering jadi sorotan.
Dari data 2022, ada 9,32 juta mahasiswa di Indonesia, hanya 3,38% dari total populasi. Lebih kecil lagi, hanya 6,52% penduduk Indonesia pernah mencicipi pendidikan tinggi (D1, D2, D3, S1, S2, atau S3). Sementara itu, 66,07 juta penduduk Indonesia nggak atau belum sekolah. Tamat SD ada 64,3 juta orang, SMP 40,21 juta, SMA 58,57 juta.
Artinya apa? Kalau kamu bisa kuliah, apalagi di kampus keren, kamu itu bagian dari minoritas intelektual dan—mohon maaf nih—mungkin kelas ekonomi menengah ke atas, mengingat biaya kuliah yang nggak murah.
Bayangkan begini: jumlah PTN dan PTS di Indonesia mencapai ribuan. Tapi cuma 10 nama yang terus disebut-sebut. Kalau di PTN, kita kenal kampus seperti UI, ITB, UGM, hingga Unair. Sementara di PTS, ada Binus, Telkom University, atau Universitas Pelita Harapan.
Kampus-kampus ini adalah "anak emas" di kancah pendidikan tinggi kita. Mereka yang berhasil masuk ke sini, ibaratnya seperti lolos audisi final kompetisi internasional.
Namun, menjadi bagian dari kelompok ini nggak selalu berarti hidup mulus dan bebas hambatan. Ada stigma, ada ekspektasi, bahkan kadang terlalu banyak harapan dari orang sekitar.
Ketika orang tahu kamu kuliah di kampus top, respons yang sering muncul adalah, “Wah, pasti pinter banget, dong!” atau, “Pasti masa depanmu cerah!” Kalimat yang terdengar menyenangkan, tapi bisa juga jadi tekanan.
Mari kita bicara soal ekspektasi. Kuliah di kampus top sering kali membuat orang berpikir kamu punya akses ke segalanya: dosen hebat, fasilitas canggih, dan peluang karir yang menjanjikan.
Tetapi jarang ada yang tahu perjuangan di balik layar. Mulai dari tumpukan tugas, kompetisi ketat antarmahasiswa, hingga dosen killer yang membuatmu menghabiskan malam dengan bergelut bersama kopi instan dan deadline.
Selain itu, ada juga tantangan dari dunia luar. Masyarakat sering kali memberi label “privilege” pada mahasiswa dari kampus top. Seolah-olah, masuk ke sana berarti hidupmu selalu mudah.
Padahal, nggak semua mahasiswa di sana berasal dari keluarga mampu. Banyak yang harus bekerja paruh waktu, mencari beasiswa, atau bahkan berjualan online demi bertahan hidup. Menjadi "minoritas intelektual" ini kadang malah membuatmu merasa sendirian di antara stereotip dan ekspektasi tinggi.
Tapi tenang, ada juga sisi positifnya. Kuliah di kampus top membuka banyak pintu peluang, mulai dari akses ke komunitas intelektual hingga jaringan alumni yang solid.
Apalagi jika kamu bisa memanfaatkan nama besar kampusmu dengan bijak, peluang kerja sering kali datang lebih dulu menghampirimu. Namun, ingat, nama besar kampus saja nggak cukup. Dunia kerja lebih menilai kemampuan dan pengalamanmu, bukan sekadar di mana kamu kuliah.
Menjadi bagian dari “minoritas intelektual” juga punya tanggung jawab moral. Kamu adalah salah satu yang beruntung mendapat pendidikan berkualitas, sementara banyak orang lain bahkan belum tentu bisa menamatkan sekolah menengah. Artinya, kamu punya kesempatan lebih besar untuk memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. Entah dengan ilmu, gagasan, atau karya yang kamu hasilkan.
Jadi, mohon ya, ilmu yang kamu dapat jangan cuma buat diri sendiri. Manfaatkan untuk membantu bangsa, khususnya mereka yang kurang beruntung. Caranya nggak harus langsung. Dengan bekerja keras di bidangmu masing-masing, kamu bisa berkontribusi pada perubahan yang lebih besar.
Ingat, ini bukan soal jadi superhero dalam semalam, tapi tentang usaha bersama untuk masa depan Indonesia. Mari berjuang pelan-pelan. Yang penting, jangan lupa senyum dan ngopi dulu kalau capek. Terima kasih, teman-teman elit intelektual!
Jadi, kalau kamu kuliah di PTN atau PTS top 10, nikmati saja prosesnya. Jangan terlalu dibebani ekspektasi orang lain, tapi jangan juga terlena dengan nama besar kampusmu.
Teruslah belajar dan berproses, karena pada akhirnya, label "minoritas intelektual" ini hanya akan berarti jika kamu benar-benar bisa membawa perubahan.
Karena di dunia yang luas ini, menjadi pintar itu baik, tapi menjadi bermanfaat adalah yang terbaik.
0 Komentar
Artikel Terkait
