Dalam bahasa Indonesia, nuklir berarti bagian dari/atau yang berhubungan dengan nukleus atau inti atom. Teknologi nuklir sendiri berarti teknologi yang melibatkan reaksi dari inti atom (reaksi nuklir).
Reaksi nuklir merupakan reaksi yang melibatkan nukleus atau inti atom. Reaksi nuklir dibagi menjadi dua, yakni reaksi fusi nuklir dan fisi nuklir. Dalam fisika nuklir, fusi nuklir (reaksi termonuklir) adalah sebuah reaksi dimana dua inti atom bergabung membentuk satu atau lebih inti atom yang lebih besar dan partikel sub atom (neuron atau proton). Contoh reaksi fusi nuklir berada pada matahari, fusi nuklir merupakan proses yang memberikan daya bagi bintang untuk bersinar. Saat ini, banyak ilmuwan dunia yang memfokuskan riset kearah reaktor fusi nuklir, namun hingga saat ini reaksi fusi nuklir belum benar-benar dimanfaatkan sebagai sumber energi.
Fisi nuklir dalam fisika dan kimia nuklir merupakan reaksi nuklir saat nukleus atom terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang sering kali menghasilkan foton dan neutron bebas dalam bentuk sinar gamma. Reaksi fisi nuklir inilah yang digunakan pada reaktor nuklir PLTN. Singkatnya, bahan bakar nuklir (umumnya Uranium) mengalami reaksi fisi saat ditembakkan neutron fisi sehingga memungkinkan terjadinya raksi berantai yang menghasilkan energi dalam tingkat tinggi.
Teknologi nuklir dikembangkan sebagai sumber energi karena jumlah energi bebas dalam bahan nuklir dapat mencapai jutaan kali jumlah energi bebas dalam bahan bakar kimia dalam massa yang sama (misalnya bensin). Di sisi lain, isi nuklir memiliki sifat radioaktif yang cukup besar sehingga terjadinya kegagalan/kebocoran dan limbah nuklir itu sendiri menjadi sangat berbahaya bagi lingkungan sekitar bila tidak di storing dengan baik.
Lalu, apakah Indonesia saat ini sudah memiliki teknologi nuklir? jawabannya adalah: sudah.
Indonesia mengawali pengembangan dan pengaplikasian nuklir pada tahun 1954 denga terbentuknya Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioativitet. Panitia tersebut bertugas untuk melakukan penyelidikan terhadap kemungkinan adanya jatuhan radioaktif dari uji coba senjata nuklir di lautan pasifik. Melalui PP No. 65 tahun 1958, dibentuklah Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom pada tanggal 5 Desember 1958 yang kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional atau BATAN (sekarang Badan Tenaga Nuklir Nasional)
Pada tahun 1965, Indonesia meresmikan pengoperasian reaktor atom pertama yaitu reaktor Triga Mark II di Bandung. Seiring dengan perkembangan BATAN, fasilitas niklir lainnya terus dibangun seperti Pusat Tenaga Atom Pasar Jumat (1966), Pusat Penelitian Tenaga Atom GAMA (1967) dan RSG-GAS 30MWth (1987) serta fasilitas penunjang lainnya.
Reaktor nuklir terbesar yang dimiliki oleh Indonesia saat ini adalah RSG-GAS atau Reaktor Serba Guna - G. A. Siwabessy yang berkapasitas 30 MWth (Mega Watt Thermal). Reaktor ini dibangun oleh Interatom Internationale, anak perusahaan Kraftwerke Union di Kawasan BATAN PUSPIPTEK, Serpong dengan biaya + 50 Juta USD. Reaktor ini merupakan tipe reaktor riset sehingga tidak dapat digunakan sebagai pembangkit listrik.
Reaktor Nuklir di Pusat Reaktor Serba Guna (PRSG) BATAN saat ini digunakan untuk memproduksi populasi (hamburan) neutron yang dapat dimanfaatkan untuk riset, pengujian, dan analisis menggunakan radiasi.
Saat ini, BATAN memiliki beberapa produk yang dibuat dengan teknologi nuklir dan radiasi. Misalnya, BATAN memiliki beberapa produk farmasi yang penelitiannya dilakukan di Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR). Selain itu, BATAN juga berhasil membuat varietas padi hasil mutasi radiasi yang lebih unggul dibandingkan dengan varietas padi pada umumnya, dan padi hasil radiasi ini sangat aman dikonsumsi tanpa ada unsur radioaktif yang tertinggal.
Berbicara tentang nuklir rasanya tidak lengkap jika tidak membicarakan tentang PLTN. Lalu, apakah Indonesia akan segera memiliki PLTN?
Hingga saat ini, Pemerintah Republik Indonesia belum mengeluarkan pendapat resmi mengenai pembangunan PLTN di Indonesia. Namun, berdasarkan Perpres No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Indonesia membutuhkan setidaknya 4 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir pada 2025 mendatang untuk meminimalkan penggunaan bahan bakar fosil dan batu bara.
Pembangunan PLTN membutuhkan waktu yang cukup lama dimulai dari penyesuaian kebijakan dan pembangunan reaktor itu sendiri. Disampaikan oleh Prof. Dr. Djarot S. Wisnubroto, mantan Kepala BATAN bahwa apabila Indonesia menyetujui pembangunan PLTN pada 2021, maka diproyeksikan PLTN baru akan terbangun pada 2031 mendatang. Selain itu, investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan reaktor nuklir juga terhitung cukup besar. Menurut Prof. Dr. Djarot S. Wisnubroto, dibutuhkan investasi mencapai 50 Triliun Rupiah untuk membangun reaktor pada kawasan rawan gempa dan 25 - 30 Triliun Rupiah pada kawasan yang aman dari gempa.
Meskipun nuklir termasuk dalam green energy dan dapat menghasilkan energi dalam jumlah yang sangat besar, masih banyak masyarakat Indonesia yang menolak keberadaan PLTN di Indonesia. Alasan terbesarnya adalah kekhawatiran masyarakat Indonesia akan bahaya dan radioaktiitas nuklir apabila terjadi kegagalan atau kebocoran pada reaktor seperti yang terjadi di Fukushima, Jepang. Beberapa organisasi lingkungan di Indonesia juga menolak pembangunan PLTN di Indonesia. Mereka mendesak pemerintah untuk mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan seperti energi surya, panas bumi, angin dan sumber energi terbarukan lainnya daripada membangun PLTN di Indonesia.
Jadi, kamu tim go nuklir atau no nuklir nih?