Perkembangan teknologi pesawat tanpa awak (drone), telah menjadi sarana bunuh diri selama konflik bersenjata di Nagorno-Karabakh. Konflik tersebut memberikan model gambaran perang dunia III. Teknologi drone saat ini telah mampu melakukan loiter atau berkeliaran dan bermanuver di sekitar sasaran serta identifikasi sasaran. Sistem teknologi drone ini menyasar persenjataan militer.
Seluruh proses peperangan direkam melalui video yang ada pada senjata dan bisa diakses secara daring. Sehingga manusia di seluruh dunia bisa melihat perang dunia III. Semuanya terjadi seolah-olah seperti dalam permainan yang banyak dihadirkan pada layar komputer. Model peperangan semacam ini bukan lagi tidak mungkin, karena menjadi realitas baru manusia. Sebagaimana saat ini manusia dapat membunuh manusia bahkan tanpa melihat wajahnya secara langsung.
Perkembangan teknologi elektronik modern saat ini dapat mempengaruhi cara umat manusia berperang. Hingga saat ini, menaklukkan suatu negara atau mendirikan sebuah rezim baru bisa dilakukan secara matang dengan unsur teknologi modern. Bahkan tanpa harus menggunakan kekerasan kepada individu secara langsung. Beberapa pihak asing cukup mengaktifkan mekanisme yang disebut“revolusi warna” di media sosial. Hasilnya sejumlah turun ke jalan dan menuntut sebuah perubahan atas kekuasaan.
Sebuah mekanisme atas kesadaran kolektif yang serupa dapat digunakan pada sebuah medan perang. Untuk pertama kalinya, mekanisme ini bertindak dengan tujuan untuk menyatukan manusia dan mesin. Sebuah pameran militer tahunan Army yang diselenggarakan di luar Kota Moskow, Rusia pada Agustus 2020, pertama kalinya Kementerian Pertahanan Rusia mendemonstrasikan komputer berukuran tablet yang berfungsi sebagai usat komando modern untuk seluruh baterai artileri. Menggunakan pemancar saluran terenkripsi, perangkat miniatur terhubung ke sistem komando pusat yang mampu menerika sebuah peta medan perang, mengungkapkan posisi musuh berada, dan melakukan komunikasi dengan berbagai teknologi berbasis di lapangan.
Dari tempat kompleks meteorologi hingga ke stasiun balistik dapat terhubung dengan tablet kecil. Seorang komandan artileri hanya memakai stilus untuk menunjuk target dan memberikan perintah. Dahulu, operator artileri memakai buku catatan untuk mencatat koordinat.
Sebuah “Tablet Taktis” harus terpasang pada semua jenis tank modern milik Rusia, seperti tank tipe T-72B3, T-90MS, dan T-14 Armata. Teknologi tablet taktis ini bisa ditemukan pada unit-unit artileri bergerak, seperti Msta-S dan Koalitsiya-SV. Bahkan ada di dalam pesawat pengebom milik Rusia. Sistem yang digunakan dalam pesawat pengebom tersebut dinamakan SVP-24 Gefest. Sistem ini dapat terhubung secara langsung dengan prajurit di darat yang sedang bertugas. Sebagaimana artileri, tank, dan operator lain, seorang prajurit juga harus memiliki sebuah tablet.
Perbedaannya, prajurit tidak menggunakan tablet untuk menerima sebuah instruksi, melainkan mengirimkan perintah kepada pengebom. Layar tablet tidak akan hanya memberi tahu posisi musuh, tetapi juga senjata yang digunakan. Pada akhirnya, hanyalah menekan tombol dan mengirim bom ke target koordinat. Berkat sistem ini, bomber Su-24 Rusia bisa membidik posisi teroris di negara Suriah jauh lebih efektif.
Peperangan digital juga akan berkaitan dengan mengacaukan sistem radio elektronik musuh. Tentara Rusia menawarkan lebih dari 18 versi sistem termasuk seperti Krasukha, Borisoglebsk-2, Apurgit, dan Infauna. Semuanya mampu melindungi tentara Rusia dari serangan roket dan bom berpresisi tinggi. Dengan kata lain, semua menggunakan komunikasi radio dan bertukar data melalui mesin sambil melumpuhkan sistem radar musuh. Tahun 2016, Sistem Krasukha digunakan pasukan Rusia di Pangkalan Udara Khmeimim, Suriah. Tidak satu pun drone bunuh diri musuh yang bisa mendekat. Itulah kecanggihan teknologi yang dimilikinya.