Setiap konten yang muncul di beranda media sosial menggunakan algoritma. Filter bubble atau Gelembung Virtual Penyaring Informasi merupakan algoritma yang banyak diaplikasikan di media sosial, khususnya pada mesin pencari. Fitur ini penting dalam penyediaan informasi yang sesuai bagi setiap pengguna.
Fungsinya membuat kita disuguhi informasi yang sesuai dengan kecocokan, relevansi dan preferensi pribadi. Contohnya seperti hal-hal yang sering kita sukai (like), cari, lihat dan nonton dengan durasi yang lama.
Bisa jadi informasi yang ada di media sosial milik si A berbeda dengan media sosial milik si B, padahal memakai aplikasi atau platform yang sama.
Contoh sederhana Filter Bubble
1. Media sosial
Efek filter bubble sebenarnya sering kita rasakan sejak menggunakan media sosial. Misalnya saat scrolling diberanda muncul beberapa video seperti tutorial main gitar, ceramah keagamaan, Stand Up comedy, ataupun berita terkini.
Dari beberapa video yang disodorkan, yang paling lama Anda tonton adalah video stand up comedy. Di waktu lain Anda melakukan hal yang sama, bahkan sampai memberikan Like pada video tersebut, meninggalkan komentar, atau membagikannya ulang (share).
Nah, kedepannya video tentang stand up comedy atau sejenisnya akan terus muncul dan direkomendasikan.
2. Platform e-commerce
Kita pasti pernah menggunakan dan memanfaatkan aplikasi belanja online besar seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada, dll. Contohnya Si A dan Si B menggunakan salah satu aplikasi e-commerce yang sama. Namun ketika Anda membuka kedua ponsel tersebut, isinya akan berbeda.
Rekomendasi barang-barang yang muncul akan disesuaikan dengan minat dari penggunanya sendiri. Barang apa yang sering dia lihat, dia beli, dia tandai, ataupun dia cari.
Sehingga walaupun platform yang digunakan sama, tapi isinya akan sedikit berbeda. Hal tersebut kini adalah cara yang efektif dalam pemasaran produk.
Sisi positif Filter Bubble
- Konten yang direkomendasikan rata-rata adalah konten yang disukai atau sesuai dengan preferensi kita. Sehingga tidak heran kita menjadi betah untuk berlama-lama scrolling (contohnya di media sosial).
- Bagi pelaku bisnis, efek ini dapat digunakan untuk keperluan marketing (iklan) yang terarah dan efektif. Targeting Advertising menyasar audience sesuai sifat, minat dan preferensi tertentu dari konsumen.
Sisi negatif Filter Bubble
- Algoritma media sosial ini bukan berarti informasi yang direkomendasikan sudah terjamin keabsahannya. Yang disaring hanyalah konten yang mungkin kita sukai, bukan soal valid tidaknya suatu berita atau informasi.
- Seseorang bisa saja menganggap pendapatnya yang paling benar karena merupakan pendapat mayoritas. Hal ini karena semua konten berita yang ia terima selaras dengan persepsinya. Jadi tidak aneh, apabila ada orang yang ngotot meyakini suatu berita yang kurang kredibel atau hoaks.
Hal yang perlu diperhatikan tentang Filter Bubble
Penting untuk kita ketahui bahwa efek yang ditimbulkan filter bubble dapat bervariasi. Semua tergantung bagaimana cara kita mengontrol informasi di media sosial dan internet.
Sebagai contoh, ketika Anda sering melihat artikel atau video tentang bumi datar, seterusnya Anda akan mendapat rekomendasi konten serupa. Sehingga membentuk persepsi Anda dan perlahan meyakini bahwa bumi itu datar.
Anda bisa bayangkan apa yang terjadi pada orang yang selalu mengonsumsi konten misalnya tentang ‘Covid-19 itu hoaks’. Bisa jadi, perlahan orang tersebut akan mengabaikan protokol kesehatan, membuat ujaran kebencian, dan sampai melawan pemerintah hingga berujung pada pidana.
Kesadaran diri (awareness) dari pengguna sangat diperlukan. Contoh penting lainnya, misalnya pada masa kampanye Pemilihan Umum ada dua orang yang mencalonkan diri.
Di media sosial, Anda melihat berita atau video tentang kebaikan dan bagusnya citra dari Peserta A. Berkali-kali Anda mendapat konten seperti itu hingga Anda yakin bahwa Si A adalah orang yang pantas dipilih.
Sebaliknya, apabila Anda mengonsumsi konten-konten yang mencerminkan bahwa Si B memiliki banyak rekam jejak yang buruk, maka akan akan terbentuk persepsi bahwa Si B tidak pantas untuk menjadi pemimpin.
Walau ilustrasi, namun patut menjadi perhatian kita dalam mengontrol informasi yang kita terima di media sosial.
Anda bisa bayangkan bahwa filter bubble bisa dipakai pihak-pihak tertentu untuk menggiring opini publik bukan?
Sebagai penutup, Penulis merekomendasikan untuk membaca artikel terkait kasus Cambridge Analytica Tahun 2016 silam, atau menonton sebuah serial Netflix dengan judul “The Social Dilemma”.
Semoga sedikit informasi dan penjelasan diatas bisa menambah insight dan bermanfaat.