Sebuah perangkat genggam diperuntukan bagi para traveler yang sering berkeliling dan masih meragukan kualitas air yang di minum. Perangkat tersebut memiliki dimensi ukuran yang kecil sehingga mudah dibawa kemanapun. Serta memberikan hasil pengujian dalam waktu yang sangat singkat (hitungan menit).
Perangkat pengujian air bekerja dengan menggunakan jaringan genetik yang kuat. Dapat diprogram melalui sirkuit elektronik, sehingga dapat melakukan berbagai fungsi logika. Ilmuwan dari Northwestern University mengatakan, perangkat tersebut menghasilkan output digital dari delapan lampu indikator, sehingga dapat memberi informasi seberapa tinggi kontaminan air mereka.
Air akan dianggap aman jika lampu indikator menyala hanya satu. Sedangkan semua lampu indikator hidup (8 lampu) maka jauhi air tersebut. Sebab akan berbahawa jika pengguna meminum air yang telah terkontaminasi tersebut.
Perangkat tersebut dikenal sebagai “ROSALIND 2.0”. Nama ini ditemukan oleh ahli kimia ternama Rosalind Franklin. Perangkat tersebut mampu merasakan 17 kontaminan berbeda air dalam satu tetes.
Dalam versi terbaru, perangkat tersebut tidak hanya mampu membaca molekuler air, tetapi memiliki otak molekuler. Hal tersebut menawarkan persentase kontaminan yang berbeda. Serta dapat memberikan strategi/metode yang sesuai dalam menanganinya. Misalnya kandungan kadar timbal rendah dalam air dapat diatasi dengan menyiram saluran air.
Perangkat pendeteksi kualitas air dapat membaca tingkat konsentrasi seng, antibiotic, dan metabolism.
Rekan peneliti Julius B. Lucks dari Northwestern University, “Kami memprogram setiap lampu indikator untuk memiliki ambang batas kontaminasi yang berbeda. Lampu dengan ambang batas kontaminasi rendah akan menyala setiap saat. Apabila jika lampu menyala seluruhnya maka dapat disimpulkan jika air tersebut sangat berbahaya. Dalam membangun sirkuit dan komputasi DNA, berdasarkan logika dapat menjadi parameter diagnostic cerdas bagi dunia kesehatan”
Dalam mendesain perangkat penguji air tersebut, tim peneliti menemukan bagaimana cara perangkat elektronik merasakan jumlah bakteri di tingkat molekuler. Metode tersebut tidak lepas dari teori biologi sintetik bebas sel, yang membuat sensor mampu membaca tingkat molekuler kecil.
Julius B. Lucks juga menjelaskan. “Tim peneliti menghubungkan kembali sinyal agar mudah dibaca pengguna. Memungkinkan pengguna dengan cepat dan mudah melihat apakah ada kontaminan di dalam air. Platform awal adalah biosensor, yang bertindak seperti pengecap. Kami juga telah menambahkan jaringan genetik yang bekerja seperti otak. Biosensor mendeteksi kontaminasi, kemudian output biosensor masuk ke jaringan genetik atau sirkuit yang bekerja seperti otak untuk melakukan logika.”
Setelah diperkenalkan ke public, perangkat ROSALIND 2.0 menuai berbagai pujian. Namun orang-orang masih belum puas, mereka mau perangkat yang mampu memberikan jumlah konsentrasi kontaminasi air. Dan hal tersebut yang masih dikejar oleh para pengembang saat ini.
Studi ini sebelumnya telah diterbitkan pada Nature Chemical Biology.