Tesla meluncurkan fitur Full-Self-Driving atau kecerdasan buatan swakemudi penuh versi beta belum lama ini. Fitur ini tersedia di mobil-mobil dalam jumlah terbatas. Orang yang bertanggung jawab dalam pengerjaan ini adalah Autopilot Sofware Engineer atau insinyur perangkat lunak swakemudi.
Pengerjaan ini melibatkan 110 insinyur swakemudi, enam diantaranya adalah perempuan. Salah satunya bernama Moorissa Tjokro yang berasal dari Indonesia. Sejak 2018 ia sudah menjadi bagian dari perusahaan yang dipimpin oleh Elon Musk.
1. Lulusan Teknik Industri dan Statistik
Pada tahun 2011, Moorissa mendapatkan beasiswa Wilson dan Shannon Technology untuk kuliah di Seattle Central College. Sayangnya masalah persyaratan umur membuat ia gak bisa kuliah karena belum masuk usia minimal yaitu 18 tahun. Setahun berselang, ia mendapatkan gelar Associate Degree atau D3 di bidang sains, dan lanjut S1 Teknik Industri dan Statistik di Georgia Institute of Technology di Atlanta.
Selama menempuh studi S1, banyak penghargaan dan prestasi yang diraih, diantaranya President’s Undergraduate Research Award dan nominasi Helen Grenga untuk insinyur perempuan terbaik di Georgia Tech. Secara akademik lulus dengan predikat Summa Cum Laude (IPK diatas 3,80).
2. Lahir di keluarga dengan latar belakang sains
Keinginan Moorissa terjun ke dunia sains didukung oleh keluarganya, terutama melihat prestasi gemilang di bidang yang ia cintai. Kecintaannya sejak dulu pada matematika dan aljabar mendorongnya untuk terjun di dunia STEM, yang mana populasi perempuan masih sedikit.
“Ayah yang bikin aku tertarik untuk masuk ke dunia ini. Dia seorang insinyur elektrik dan enterpreneur, dan aku bisa lihat teknik keinsinyuran benar-benar fun, penuh tantangan, dan aku suka,” ceritanya.
2. Pernah kerja diluar bidang teknik
Sehabis lulus, Moorissa kerja di MarkeTeam, perusahaan pemasaran dan periklanan. Ternyata sama dengan fenomena di Indonesia dimana lulusan teknik malah kerja gak sesuai dengan jurusannya. Namun di tahun 2016, ia mengambil S2 Data Science di Columbia University, New York. Waktu kuliah S2 juga menoreh prestasi, yaitu, juara 1 kompetisi Columbia Annual Data Science Hackthon dan kompetisi Columbia Impact Hackathon.
3. Gabung di Tesla tanpa kirim surat lamaran
Sebagai Autopilot Software Engineer, Moorissa bertanggung jawab untuk mengevaluasi perangkat lunak swakemudi, melakukan pengujian kinerja mobil, serta mencari cara untuk meningkatkan kinerjanya. Sebelumnya ia memegang jabatan sebagai Data Scientist. Menariknya adalah Ia langsung dihubungi Tesla untuk ikut proses wawancara.
“Sekiter dua tahun lalu, temanku magang di Tesla. Dia sempat ngirim resume-ku ke timnya. Aku sebenarnya gak pernah ngirim, jadinya dikontak langsung sama Tesla. Dan disitu mulai proses wawancara,” kenangnya.
4. Seminggu kerja 70 jam dengan tingkat kesulitan tinggi
Full-Self-Driving adalah tingkat tertinggi dari sistem swakemudi serta salah satu proyek terbesar yang digarap Tesla. Kelebihan dari sistem ini adalah pengemudi gak perlu injak rem dan pedal. Pengerjaan sistem swakemudi memakan waktu 60-70 jam seminggu karena melalui proses yang sangat-sangat susah.Tanggung jawabnya untuk menguji perangkat lunak, ia mendapatkan mobil Tesla untuk keperluan sehari-hari. Hal ini sangat menguntungkan mengingat kebutuhan uji coba Full-Self-Driving.
“Kita ingin mobil 100% bekerja sendiri. Terutama pada saat di tikungan. Bukan hanya di jalan tol, melainkan jalan-jalan yang biasa dilalui,” ujar perempuan kelahiran tahun 1994 silam.
“Kita ingin gimana caranya membuat sistem seaman mungkin. Jadi sebelum diluncurkan ada tahap pengujian yang sangat ketat, giat dan mengkalkulasi semua risiko agar komputer bisa beroperasi dengan aman,” tambahnya
Moorissa mendapat banyak pekerjaan khusus dari Elon Musk walau belum pernah berinteraksi secara langsung. Kebanyakan dalam bentuk hasil atau dipresentaskan di depannya.
“Sering ketemu di kantor dan banyak kerjaan saya dikhususkan untuk dia dan dipresentasikan,” pungkasnya
5. Selama kerja di Tesla, tidak mendapat perlakuan diskriminatif
Dunia engineering jarang tersentuh oleh perempuan. Hal ini dikarenakan terdapat kesenjangan gender masih terjadi. Menurut American Association of University Women, organisasi yang bertujuan untuk memajukan kesejaterahan perempuan menyatakan perempuan yang kerja di bidang STEM hanya 28 persen. Terbukti dari 110 autopilot engineer, enam diantaranya adalah perempuan.
“Jadi benar-benar jarang. Enggak tahu kalau di luar Silicon Valley, atau di luar Tesla sekalipun,” katanya.
Moorissa merasa beruntung karena gak mendapatkan perlakuan diskriminasi dan kesenjangan gender selama bekerja di Tesla. Walau ia akui bahwa perempuan cenderung lebih menurut.
“Mungkin karena saya dibesarkan di Indonesia, jadi sering ngomong sorry, bukan hanya cewek aja, melainkan kaum minoritas di bidang tertentu, gitu.”
“Alhasil rasa percaya diri kita dapat turun, karena kita mewakili minoritas,” ujarnya
6. Kurang bimbingan membuat perempuan jarang nyemplung di bidang STEM
National Science Foundation di Amerika Serikat mengatakan, perempuan yang menyandang gelar sarjana teknik mengalami peningkatan dalam 20 terakhir, tetapi jumlahnya masih dibawah laki-laki. Masih jarang perempuan masuk ke dunia STEM, Moorissa melihatnya sebagai tantangan yang paling besar. Dampaknya adalah kurangnya motivasi perempuan untuk mencapai posisi eksekutif di bisang teknologi dan otomotif.
Pernyataan ini didukung Brenda Ekwurzel, ilmuwan bidang iklim, dan Direktur of Climate Science program iklim dan energi di lembaga Union of Concerned Scientists di Washinton DC. Faktor kurang bimbingan dan arahan adalah salah satu faktor kendala perempuan berkarier di bidang STEM.
Walau begitu, Moorissa tetap optimis perempuan dapat berkarier di industri, terutama dengan adanya Society of Women Engineers, organisasi yang berfokus memberdayakan perempuan dalam bidang STEM.
Moorissa merupakan satu dari banyak insinyur Indonesia lain yang berprestasi. Dan kedepannya, Moorissa bercita-cita mendirikan yayasan dengan tujuan memberantas kemiskinan di Indonesia.
sumber : voaindonesia.com | kompas.com | otomotif.okezone.com |