Sampah berkaitan erat dengan aktivitas kita sehari hari. Hampir seluruh kegiatan kita menghasilkan sampah. Sampah sampah ini apabila tidak bisa ditangani dengan baik akan semakin menumpuk dari hari ke hari dan bisa mencemari lingkungan sekitar.
Volume sampah di Indonesia bertambah mengikuti jumlah penduduknya setiap tahun. Tahun 2017 jumlah sampah Indonesia diperkirakan sebanyak 64 juta ton per tahun. Jumlah ini akan meningkat seiring bertambahnya penduduk sebanyak 3,41 % per tahunnya.
Volume sampah ini memakan banyak lahan untuk pengolahan dan penimbunan. Pada TPA Bantar Gebang misalnya.
Sampah di indonesia mayoritas merupakan sampah organik
Melansir dari Kompas, TPA ini seharusnya hanya bisa menampung volume sampah sampai tahun 2021, dan harus dilakukan pelebaran lahan agar bisa digunakan untuk menampung pada tahun-tahun selanjutnya. Tentunya pelebaran lahan ini akan membutuhkan cost yang besar.
Volume sampah ini seharusnya bisa diperkecil. Menurut studi yang telah dilakukan pada tahun 2019, sampah di Indonesia terdiri dari 60 % sampah organik dan sisanya adalah sampah non organik. Sampah organik menjadi penyumbang terbesar volume sampah di TPA, padahal sampah ini bisa di daur ulang dan dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai ekonomis.
Metode Black Soldier Fly
Salah satu pengolahan sampah organik (biowaste) yang bernilai ekonomis adalah metode Black Soldier Fly. Metode Black Soldier Fly adalah metode komposting yang memanfaatkan maggot Hermetia illucens. Larva maggot tersebut memiliki keunikan dari pada larva lalat pada umumnya karena memiliki enzim khusus yang bisa mendegradasi sampah.
Memiliki kadar protein tinggi dan lemak.
Secara umum, maggot (larva BSF) mengandung lemak 29-32%, protein 40-50%, selain itu maggot memiliki kandungan antimikroba dan anti jamur, sehingga apabila dikonsumsi oleh ayam dapat meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit bakterial dan jamur (Bosch, et al., 2014). Sehingga maggot Budidaya maggot (larva Black Soldier Fly) dapat menjadi peluang bisnis dan sumber alternatif seiring meningkatnya harga sumber protein dan adanya ancaman ketahanan pakan ternak.
Pemanfaatan larva BSF sebagai pakan ternak memiliki keistimewaan.
Larva BSF ini memiliki kemampuan untuk mengurai limbah organik secara efektif karena larva tersebut termasuk golongan detritivor, yaitu organisme pemakan tumbuhan dan hewan yang telah mengalami pembusukan. Dibandingkan dengan larva dari keluarga lalat Muscidae dan Calliphoridae, larva ini tidak menimbulkan bau yang menyengat dalam proses mengurai limbah organik sehingga dapat diproduksi di rumah atau pemukiman (Wardhana, 2016).
Dalam praktiknya larva BSF mampu mengurangi limbah hingga 58% dan menurunkan konsentrasi populasi nitrogen di kandang (Tomberlin et al. dan Myers et al. dalam Wardhana, 2016). Larva BSF juga mampu mengurai hingga 68% sampah perkotaan (Diener et al. Dalam Wardhana, 2016). Larva BSF juga memiliki kemampuan untuk mengurai sampah tanaman hingga 66,53% (Zakova dan Barkovcova dalam Wardhana, 2016).
Larva BFS aman untuk manusia
Larva BSF juga bukan perantara penyakit, sehingga relatif aman apabila dibudidayakan di tengah-tengah pemukiman penduduk. Selain itu populasi lalat BSF mampu mengurangi populasi lalat M. domestica (lalat rumah). Sehingga jika limbah organik telah didominasi oleh larva BSF, maka lalat M.domestica tidak akan bertelur di tempat tersebut.
Pemanfaatan limbah sampah organik sebagai bahan pakan alternatif juga mendukung program pemerintah dalam pengelolaan limbah sampah, karena setiap harinya volume sampah organik dari tahun ke tahun terus meningkat. Sampah-sampah yang ada jika tidak diolah akan menumpuk dan menjadi sarang berbagai kuman dan menjadi sumber penyakit.
Dengan digunakannya limbah organik sebagai media dalam membudidayakan BSF, diharapkan limbah rumah tangga yang biasanya dibuang bisa dimanfaatkan dengan lebih baik sebagai alternatif pakan untuk ikan dan unggas.