Sudah hampir dua tahun sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus perdana Covid-19 di Indonesia pada Maret 2020 lalu. Berbagai upaya dilakukan untuk menekan penyebaran virus, salah satunya dengan diberlakukannya strategi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 9 Tahun 2020, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan penduduk suatu wilayah untuk mencegah kemungkinan penyebaran Covid-19. Diterapkannya strategi PSBB membuat masyarakat melakukan aktivitas bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah.
Indonesia menjadikan pariwisata, khususnya pariwisata alam, sebagai penyumbang devisa terbesar kedua setelah industri minyak sawit atau crude palm oil (CPO). Sayangnya, pariwisata alam menjadi sector yang merasakan dampak kebijakan PSBB. Pada awal pandemi, pemerintah sempat menutup kawasan pariwisata, khususnya pariwisata alam. Namun, kini pariwisata alam mulai dibuka kembali dengan menerapkan protokol kesehatan.
Selain menekan penyebaran virus, penutupan atau pembatasan jumlah wisatawan di kawasan wisata alam dianggap memberikan waktu bagi alam untuk memulihkan diri dan beristirahat sejenak dari keriuhan manusia dan aktivias merusak lingkunan lainnya. Contohnya, di kawasan wisata Gunung Bromo.
Menurut aktivis East Java Ecotourism Forum, Agus Wiyono, tanaman-tanaman liar di kawasan Gunung Bromo mulai bermunculan. Bersamaan dengan hal tersebut, produksi sampah di Kawasan Wisata Gunung Bromo juga berkurang. Bahkan, banyak terlihat satwa liar yang sebelumnya jarang ditemui. Namun, apakah alam benar-benar sedang beristirahat?
Berdasarkan data dari Global Forest Watch, sejak 2001 hingga 2019, Indonesia kehilangan sekitar 26,8 juta tutupan hutan. Hadirnya pandemi Covid-19 dianggap memberikan waktu bagi alam untuk memperbaiki ekosistem secara alami. Namun, kenyataannya pemulihan alam terganggu oleh aktivitas manusia yang juga terkena dampak pandemi.
Tidak sedikit penduduk sekitar daerah wisata alam yang justru kehilangan pekerjaannya dan melakukan deforestasi untuk menciptakan lahan pertanian. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.30 tahun 2009, deforestasi merupakan proses menghilangkan hutan menjadi area non-hutan.
Deforestasi juga bisa diakibatkan oleh kebakaran hutan, baik secara alami maupun buatan. Pembukaan lahan tersebut membuat semakin banyak hutan yang rusak. Padahal, sejak sebelum pandemic pun kondisi hutan di Indonesia sudah memburuk.
Menurut Deutsche, salah satu media pemberitaan yang berbasis di Jerman, pada 2019 Indonesia mengurangi upaya perlindungan hutan untuk penanggulangan Covid-19 dan memperkenalkan undang-undang cipta lapangan kerja yang dianggap merusak alam dan lingkungan. Deforestasi selama pandemi juga terjadi diberbagai negara.
Menurut peneliti senior di World Resources Institute (WFI), Frances Seymor, gerak penegak hukum dan Lembaga perlindungan hutan menjadi terbatasi akibat kebijakan lockdown. Selain itu, terdapat pula pemotongan anggaran untuk memulihkan kemerosotan ekonomi akibat Covid-19 dan indikasi pelonggaran peraturan lingkungan untuk memfasilitasi kegiatan investasi demi mendorong kemajuan ekonomi.
Muhammad Ichwan, juru kampanye Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mengatakan banyaknya tindak pidana ini disebabkan oleh adanya pembatasan jam kerja polisi hutan selama pandemi sehingga kinerja kurang maksimal. Selain itu, undang-undang tentang pencegahan dan pemberatasan perusakan hutan juga masih lemah sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku. JPIK mencatat sebanyak 15 kasus tindak pidana kehutanan pada awal tahun 2020
Hutan merupakan sumber daya alam yang memberi manfaat besar bagi kelangsungan hidup manusia. Salah satunya, yaitu hutan sebagai gudang penyimpanan dan peresapan air. Mengingat urgensi tersebut, deforestasi perlu dihentikan karena dapat memicu bencana lain, seperti longsor, banjir, dan kekeringan.
Selain itu, kebakaran hutan yang terjadi saat pandemi dapat berdampak pada kesehatan. Menurut ahli toksikologi lingkungan Boise State University, Luke Monstrose, peradangan paru akibat kandungan NO2 dari asap kebakaran hutan dapat mempengaruhi ketahanan tubuh.
Tahun 2020 dan 2021 merupakan tahun yang berat karena pandemi Covid-19. Tahun-tahun setelahnya diharapkan mampu mengembalikan hilangnya hutan akibat deforestasi. Selain itu, diperlukan kajian ulang mengenai undang-udang perlindungan hutan dan ketegasan dari penegak hukum untuk memastikan solusi yang berkelanjutan bagi alam dan manusia.