Bagaikan jatuh tertimpa tangga. Kira-kira itulah yang akan dialami oleh industri pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU yang merupakan penghasil energi terkotor dari segala jenis pembangkit listrik yang ada. Sudah mengalami kenaikan harga batu bara, sekarang mereka mendapatkan tantangan yaitu pajak karbon.
Ya, kalian gak salah dengar, pajak karbon akan dilaksanakan di indonesia. Dilansir dari situs investor.id, pajak karbon akan mulai aktif diterapkan sebesar Rp30 per kilogram CO2e. Dan pajak karbon ini akan mulai efektif berjalan mulai April 2022.
Tapi Sebenarnya Apa Sih Pajak Karbon itu?
Dilansir dari situs Center for Climate and Energy Solutions (c2es.org), pajak karbon adalah sejumlah harga yang ditetapkan pemerintah atas penggunaan karbon yang dihasilkan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membuat orang-orang mengurangi penggunaan benda yang menghasilkan emisi karbon tinggi. Mengingat jumlah CO2e di atmosfer Bumi dapat menyebabkan pemanasan global yang mengarah pada perubahan iklim. Dampaknya dapat mengancam eksistensi keberadaan mahluk-mahluk di bumi.
Simpelnya, kamu membakar sate yang menghasilkan banyak asap, dan memberikan pajak yang besar padamu. Dibandingkan kamu memasak nasi tim, yang tidak menghasilkan terlalu banyak asap. Prinsip ini diimplementasikan juga kepada kendaraan, pembangkit listrik, dan sebagainya.
Lalu Negara Mana Saja yang Mulai Menerapkan Pajak Karbon?
Sejauh ini, negara yang paling vokal dalam menyuarakan carbon taxes adalah Kanada. Di Kanada, setiap liter dari diesel dikenakan biaya tambahan sebesar $0.08 dan untuk per ton CO2e, Kanada mengenakan biaya $40 dan diharapkan menanjak terus hingga ke level $170 di tahun 2030. Pajak yang telah dikumpulkan ini pun pada akhirnya akan dipakai sebagai upaya pendanaan untuk pengentasan krisis iklim di Kanada.
Dan di benua biru, Eropa, negara yang telah mengimplementasikannya adalah Finlandia dan Swedia. Pajak karbon di Finlandia sendiri telah dijalankan sejak tahun 1990, dengan rate US$24,39 per ton CO2e. Dan arus kas dari pajak karbon pun dipakai untuk meringankan pajak-pajak lain serta pengembangan teknologi ramah lingkungan. Hal ini juga terbukti efektif mengurangi emisi hingga 25% di negara yang terkenal dengan kurikulum terbaiknya tersebut.
Adapun negara lain yang sudah menerapkan pajak karbon, meskipun belum menyeluruh, adalah Indonesia. Ya, di DKI Jakarta, kita akan mendapatkan denda jikalau uji emisi yang dilakukan tidak sesuai dengan kriteria dan ambang batas yang ditentukan oleh pemerintah. Meskipun, untuk sektor lain sepertinya baru akan diterapkan secara bertahap, dan seperti yang telah disebutkan di awal, untuk PLTU akan dikenakan pajak karbon per April 2022 nanti.
Lalu Apa Dampak dari Pajak Karbon Ini?
Tentu saja hal yang pertama dirasakan adalah kenaikan harga terhadap beberapa komoditi. Kalau sadar, harga minyak tanah belakangan ini menanjak tajam. Ya, salah satunya karena adanya sentimen pajak karbon yang dilakukan oleh negara lain terhadap CPO. Meskipun itu bukanlah faktor yang utama.
Yang kedua, tentu saja adanya penurunan emisi karbon yang dihasilkan oleh suatu negara. Seperti di Kanada, telah ada satu instititusi pendidikan berhasil menjadi sekolah dengan emisi karbon netral. Negara seperti Swedia dan Norwegia serta Finlandia berhasil menurunkan emisi karbon hingga 25%. Hal ini tentunya merupakan permulaan yang baik dalam melawan perubahan iklim akibat gas rumah kaca.
Namun, tentunya ada dampak buruk yang dapat terjadi jikalau tidak diimplementasikan secara perlahan. Kebangkrutan, krisis energi, atau inflasi akibat adanya pajak karbon mungkin saja terjadi. Apabila pajak karbon terlalu rendah, tidak akan ada perubahan apa-apa dari kebijakan tersebut. Oleh sebab itu, para stakeholder dan pemangku kebijakan harus benar-benar memikirkan matang-matang terkait rencana pajak karbon.
*Credit : Artikel ini saya tulis dengan bantuan Ketut Candra Pangestu, seorang Mahasiswa Teknik Lingkungan President University.